PEMAHAMAN TENTANG HAMA
Kapan suatu
herbivora dapat disebut hama? Pendefinisian hama merupakan pendefinisian yang
bersifat "antroposentrik", berpusat pada kebutuhan manusia.
Pengetahuan tentang dasar-dasar biologi menunjukkan bahwa herbivora, jasad pemakan
tumbuhan, merupakan suatu kumpulan trofi yang memang bertugas mengatur populasi
tumbuhan (atau secara metabolis, herbivora adalah jasad yang hanya mampu
memanfaatkan energi yang telah diolah, atau jasad heterotrof). Herbivora ini
disebut hama atau jasad pengganggu (OPT, Organisme Pengganggu Tanaman) karena
memakan tumbuhan yang diusahakan baik secara ekonomis maupun subsisten, oleh
manusia.
Pengertian
terakhir inilah yang membedakan herbivora dengan hama. Karena didefinisikan
melalui kebutuhan manusia, maka seharusnya kedudukannya tidak dianggap sebagai
pengganggu ("nuisance"), melainkan resiko ("risk"), karena
akan selalu dijumpai selama manusia menyelenggarakan usaha pertanian.
Pertanian, terutama yang mengutamakan penanaman satu jenis (univarietas,
monokultur) memang mengandung resiko didatangi herbivora, karena :
- Monokultur pada prinsipnya bertentangan dengan keanekaragaman hayati
- Keberadaan tumbuhan/tanaman dalam jumlah banyak pada suatu hamparan pasti akan menarik herbivora
- Sebagai suatu ekosistem binaan, ekosistem pertanian mencari keseimbangan homeostasis dengan membentuk piramda makanan khusus dalam ekosistem ybs.
Kenyataan
di atas menyebabkan perlunya strategi atau taktik khusus menghadapi hama,
dengan tetap mengingat bahwa tujuan yang terutama bukanlah memusnahkan
jenis-jenis hama yang hadir, tetapi menjaga keseimbangan ekologi sehingga
interaksi antar komponen lingkungan dalam agroekosistem mampu menghasilkan
kestabilan kondisi interna. Oleh karena itu filosofi pengendalian hama saat ini
bukan lagi bertujuan membersihkan atau memusnahkan jasad
"pengganggu", melainkan menyelenggarakan usaha pertanian yang
harmonis dengan kehidupan ekologis lingkungannya, tanpa harus mengalami
kerugian ekonomi.
Kehadiran
jasad herbivora dengan demikian dihadapi berdasar pertimbangan ekologi, biologi
dan ekonomi. Hubungan jasad herbivora menuju ke kerugian ekonomi secara lateral
adalah sebagai berikut:
individu ® spesies
® populasi ® serangan ®® kerusakan ® kerugian
Hubungan di atas menunjukkan bahwa
jasad herbivora yang terdiri atas individu akan berkumpul membentuk populasi
dan bersama-sama melakukan "serangan" (dilihat dari sisi jasad
herbivora) sehingga mengakibatkan "kerusakan" (dilihat dari sisi
tumbuhan) dan menimbulkan "kerugian ekonomi" (dilihat dari sisi
kepentingan penanam/manusia)
Hubungan
tersebut kemudian juga menekankan pentingnya "jumlah anggota
populasi" sebagai tolok ukur kerugian (atau kemungkinan kerugian) yang
terjadi. Dari segi ini, maka jumlah anggota populasi merupakan tolok ukur arti
penting bahaya hama bila dilihat dari :
- Mudah atau tidaknya jumlah anggota populasi meningkat. Populasi serangga hama pada umumnya menjadi penting karena kemampuan peningkatan populasi dengan cepat menuju jumlah tinggi
- Kemampuan merusak individu jasad. Seekor gajah meskipun hanya satu akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan seekor wereng batang padi.
- Kedudukan/peran jasad pengganggu dalam hubungannya dengan pengganggu yang lain. Kutu afid yang menjadi vektor meski jumlahnya hanya sedikit harus segera diwaspadai karena memiliki potensi merusak yang besar
Dilihat dari sisi tumbuhannya,
kerusakan yang terjadi juga dapat menjadi penting jika:
- Bagian tanaman yang dirusak memiliki arti ekonomi penting. Ulat yang menyerang daun tembakau atau daun kubis merupakan pengganggu yang penting dibanding dengan ulat yang menyerang daun padi atau daun kelapa, karena nilai ekonomi kubis dan tembakau terdapat pada daun. Dengan demikian hama buah kakao, hama biji kopi, hama batang tebu dan seterusnya merupakan hama penting untuk masing-masing komoditas tersebut.
- Kerusakan tidak hanya berakibat menurunnya kuantitas tetapi juga menurunkan kualitas. Hama pascapanen yang tidak hanya menurunkan berat bahan simpanan tetapi juga mengotori produk jelas lebih merugikan dibanding yang hanya mengurangi bobot produk. Hama-hama hortikultura yang merusak kualitas menjadi amat penting meski tidak mengurangi berat atau volume produk.
- Kemampuan toleransi atau resistensi tumbuhan terhadap jasad herbivora. Tumbuhan yang lebih cepat pulih, atau tidak mudah rusak karena serangan jasad pengganggu menyebabkan jasad herbivora yang memakannya kurang atau bahkan tidak diperhatikan sebagai penyebab kerugian.
- Tanaman/tumbuhan yang menghasilkan produk bermanfaat justru karena serangan hama malahan diharapkan, agar tanaman diserang jasad pengganggu. Kehadiran ulat kipat (Cricula trifenestrata) pada tanaman kedondong atau alpukat misalnya, seringkali malah diharapkan oleh penanamnya. Demikian juga kehadiran kutu yang mengundang semut rangrang (Oecophylla smaradigna), acapkali dibiarkan saja karena larva semut memiliki nilai ekonomi sebagai pakan burung.
Selanjutnya, kerugian ekonomi yang timbul juga masih akan dilihat dari nilai
ekonomi produk yang dihasilkan tanaman. Tanaman dengan nilai ekonomi tinggi
akan dilindungi dari serangan hama dengan lebih intensif daripada tanaman yang
nilainya rendah. Kerugian ekonomi dengan demikian didefinisikan berdasar kepada
sifat-sifat jasad pengganggu, sifat-sifat tanaman maupun sitindak atau
interaksi antara keduanya beserta lingkungan sekitar (biologi dan ekologi); dan
sifat sosio-ekonomik tanaman maupun usaha taninya bagi si penanam.
Pemahaman ekologi
menyebabkan kedudukan habitat jasad pengganggu perlu diperhatikan. Selama ini
barangkali jasad pengganggu hanya dikenal pada lingkungan pertanian. Namun
sesungguhnya ekosistem di luar pertanian pun juga tidak lepas dari serangan
jasad pengganggu. Wilayah perkotaan yang berkembang dengan membina pertamanan,
paru-paru kota, menghijaukan tepi jalan maupun median (pertengahan) jalan,
kompleks pemukiman yang mengutamakan kehijauan dan kerindangan, padang dan
lapangan olah raga; semuanya merupakan ekosistem binaan di luar pertanian yang
tak lepas dari serangan jasad pengganggu. Sayang perhatian terhadap hama-hama
urban semacam ini di negeri kita masih belum berkembang dengan baik.
Hama dan Komoditasnya : Pengantar
Pada
akhirnya pembicaraan mengenai hama akan sampai kepada hubungannya secara
langsung terhadap jenis tanaman yang diserangnya, atau komoditas yang menderita
kerusakan dan kerugian karena gangguan hama. Pengelompokan hama pada
masing-masing komoditas ditekankan kepada hubungan ekonominya, sehingga
terdapat hama penting (major pests), hama kurang penting (minor pests),
hama kadang-kadang (occasional pests) dan hama migran (migrant pests).
Untuk penggolongan hama dalam suatu komoditas yang lebih jelas dapat dilihat
pada Untung (1993).
Penggolongan hama dapat dilakukan
pula berdasar kelompok komoditasnya. Penggolongan ini mengelompokkan hama
menjadi
- Hama Tanaman Pangan
- Hama Tanaman Hortikultura
- Hama Tanaman Perkebunan
- Hama Hutan, di luar lingkup)
- Hama Urban/Perkotaan (taman dan lapangan)
- Hama Pascapanen
- Hama Ternak dan Perikanan, di luar lingkup pembicaraan)
Meskipun
kadang menjadi kurang praktis (karena secara budidaya antara kelompok komoditas
mungkin terdapat salingtindih dalam teknik pengelolaannya), namun yang menjadi
penting adalah pemahaman mengenai sistem tempat hama berada, sehingga hubungan
pengelolaan hama dengan faktor produksi atau faktor pengelolaan lain dapat
lebih mudah dipergunakan untuk mengatasi permasalahan.
Empat
langkah yang dipergunakan mengatasi permasalahan hama (terutama serangga)
adalah (1) identifikasi jasad pengganggu, (2) mengukur kuantitas pengaruh jasad
pengganggu terhadap tanaman, (3) mempertimbangkan apakah pengelolaan
diperlukan, dan (4) menerapkan taktik pengelolaan hama yang tepat. Jika yang
diamati adalah hama sebagai individu, maka tekanannya adalah pada identifikasinya,
namun dalam menghadapi permasalahan hama maka wawasan harus diperluas sampai
menjangkau kemungkinan pengelolaan dan kendala yang muncul untuk jasad dan
komoditas yang berbeda.
Pengelompokan komoditas biasanya didasarkan pada luas areal atau nilai
produksi, tetapi seperti yang terlihat di atas pengelompokan juga dapat
didasarkan pada strategi praktis menghadapi jasad pengganggunya. Memang harus
diusahakan agar penentuan jasad pengganggu yang paling penting dilakukan secara
obyektif (bukan karena lebih banyak dikenal, mudah dihadapi, terdapat cara
pengelolaan yang mudah dll.). Pengelompokan seperti yang disampaikan dalam
komoditas mungkin juga harus diperhatikan sungguh-sungguh. Hama yang selalu ada
dalam jumlah besar dan merugikan memang penting, tetapi boleh jadi terdapat
hama kadang-kadang yang tidak kalah penting artinya pada saat-saat tertentu.
Arti penting jasad pengganggu dapat bervariasi mengikuti wilayah
geografis/ekologis tertentu atau waktu/musim tertentu.
Salah satu
hal yang juga perlu dipahami adalah bahwa meskipun pengelolaan hama dapat
ditinjau sebagai suatu masalah tersendiri, namun semua konsep pengelolaan hama
diselenggarakan dalam konteks sistem produksi. Dalam pertanian, sistem produksi
tersebut berbasis pada suatu komoditas tunggal. Jasad pengganggu yang berada
pada kondisi/sistem yang berbeda menghendaki cara penanganan yang berbeda pula.
Selanjutnya
perlu diingat bahwa komoditas yang memiliki arti penting, pastilah telah
memiliki catatan yang cukup lengkap mengenai berbagai jenis jasad pengganggu
yang menyerangnya. Persoalan kita adalah bagaimana memperoleh informasi
tersebut secara cepat dan benar, sehingga kita perlu mengetahui
instansi/dinas/satgas atau laboratorium mana yang memiliki informasi jenis
jasad yang kita hadapi pada tanaman/komoditas tertentu tersebut. Terdapat Balai
Penelitian, Dinas Pertanian dan Perkebunan, Laboratorium Lapangan sampai ke
Perguruan Tinggi yang menyediakan berbagai gambar, kunci identifikasi,
contoh/sampel dan berbagai keterangan mengenai berbagai jenis jasad penganggu.
Sumber informasi semacam ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Selain itu, untuk kepentingan pemahaman mata kuliah ini, praktikum telah
diusahakan agar dapat memperkenalkan mahasiswa dengan situasi lapangan yang sesungguhnya.
Hama-hama tanaman pangan/hortikultura, tanaman perkebunan, hama-hama urban dan
pascapanen telah diberikan sebagai obyek kajian praktikum pada mata kuliah ini.
Selanjutnya untuk lebih memahami gejala kerusakan, jenis OPT, bentuk, ukuran,
dan penampilan fisik lainnya, mata kuliah Klinik Hama dan Penyakit akan sangat
berguna untuk mengenal hal-hal tersebut lebih jauh dan lebih rinci.
Pemaparan
yang lebih komprehensif jasad demi jasad akan diberikan melalui mata kuliah
Hama dan Penyakit Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Pascapanen.
Hama Tanaman Pangan.
Dalam istilah bahasa Inggris, digunakan frasa "Agronomic Pests", yang
cakupannya lebih luas dari pemenuhan kebutuhan pangan. Di Indonesia, tekanannya
adalah pengadaan pangan, sehingga pengganggu proses inilah yang terpenting,
jadi istilahnya "Hama Tanaman Pangan". Tanaman pangan yang dipentingkan
adalah penghasil bahan makan pokok, yang di bumi ini hampir 80% dipenuhi oleh
bijian serealia (anggota familia Poaceae atau Graminae : beras, gandum,
jagung, shorgum, millet, jali dll. ), selain juga dipenuhi oleh umbian atau
akar (Convolvulaceae : ubi jalar, Dioscoreaceae : ubi ungu,
gadhung, gembolo, gembili; Cannaceae : talas, garut; Euphorbiaceae
: ketela pohon; Solanaceae : kentang), tepung batang (Arecaceae atau
Palmae : aren, sagu), dan buah (Moraceae : sukun, Musaceae :
pisang). Terlihat bahwa kebanyakan tanaman pangan yang ada merupakan sumber
karbohidrat, sehingga ketertarikan jasad pengganggu hama dapat diperhitungkan
melalui sifat ini. Jenis tanaman pangan yang lain ada yang merupakan sumber
protein dan minyak, misalnya kedelai dan kacang-kacangan. Pola jenis hamanya
menjadi berbeda dengan kelompok pertama.
Namun salah
satu ciri yang cukup jelas adalah bahwa kebanyakan tanaman pangan merupakan
tanaman semusim (annual, biennial). Dengan demikian jenis tanaman ini
kebanyakan akan dibongkar sesudah menghasilkan, sehingga perkembangan jasad
herbivora yang mengikutinya akan menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Jasad
pengganggu yang menyerangnya umumnya berumur lebih pendek daripada daur
tanamannya, atau kalaupun berumur lebih panjang, maka perlu tersedia pakan
pengganti sehingga tidak kehabisan makanan. Pada kenyataannya, penyesuaian diri
banyak jenis jasad pengganggu telah demikian baik sehingga terdapat hama yang
menyerang pada masa yang amat pendek saja, misalnya walang sangit.
Perkembangan penyesuaian yang terjadi antara tanaman semusim dengan jasad
pengganggunya telah berlangsung demikian lama, sehingga lingkungan pertanaman
merupakan suatu ekosistem tersendiri dengan ciri tertentu. Julukan
"agroekosistem" mengacu kepada proses yang telah berjalan lama, yang
menyatukan sitindak antara hama--tanaman--jasad lain dan komponen abiotik yang
ada di dalamnya. Komponen abiotik ini sedikit banyak juga berada di bawah
pengaruh manusia : tanah yang dipetak-petak dan dikendalikan kesuburannya, air
yang diatur alirannya. Sedang komponen biotik yang diatur dengan cermat umumnya
hanya tanamannya, sementara komponen biotik lainnya lalu menyesuaikan diri
dengan irama tersebut. Pendekatan pengaturan untuk komponen biotik yang lain
ini acapkali jauh dari cermat : diusir, dibunuh, dianggap komponen yang
"tak berperan", sehingga perlakuan terhadap mereka lebih menuju upaya
pemusnahan untuk mengunggulkan satu komponen biotik saja, yaitu tanaman.
Upaya
pendekatan pengaturan yang semacam ini menyebabkan kondisi "berat
sebelah" dalam agroekosistem. Oleh karena itu pendekatan yang seharusnya
dilakukan adalah mempertimbangkan sistem pertanaman secara komprehensif, secara
holistik, atau menerapkan suatu sistem Pengelolaan Hama Terpadu. Di negeri
kita, tanaman pangan yang memiliki posisi politis yang strategis tidak dapat
hanya dikelola dengan pendekatan teknis peningkatan produksi saja,melainkan juga
secara lengkap mempertimbangkan faktor-faktor lain yang ikut menentukan
keberhasilan pertanaman baik secara teknis maupun non-teknis. Ini dituangkan
dalam bentuk prinsip-prinsip PHT, pemantauan terhadap berbagai kondisi ekosistem,
baik pertanaman (ekologi, biologi) maupun sosial-ekonomi.
Jadi
pertimbangan komoditas pangan sebagai dasar strategi pengelolaan hamanya,
sebagaimana halnya strategi untuk komoditas-komoditas lainnya, mengacu pada :
- Sifat komoditasnya, baik sifat agronomi, ekologi maupun ekonominya
- Kondisi lingkungan pertanamannya
- Pemahaman dan ketersediaan teknologi pengelolaannya.
Hama Tanaman Perkebunan.
Pada komoditas perkebunan, nilai ekonomi merupakan pertimbangan yang amat
penting karena memang komoditas perkebunan umumnya ditanam untuk memperoleh
keuntungan ekonomi. Sifat berikutnya yang penting adalah jenis tanaman
perkebunan yang kebanyakan perennial, dan diusahakan pada hamparan yang amat
luas secara monokultur dengan bentuk agroekosistem yang memiliki keanekaragaman
agak lebih banyak daripada tanaman pangan. Sifat ketiga, berhubungan dengan
usaha taninya. Banyak perkebunan yang lebih merupakan usaha besar dibanding
perkebunan rakyat, sehingga model pengelolaannya memang mengutamakan efisiensi
ekonomi.
Penanganan
masalah hama pada bidang perkebunan memang masih belum mendasarkan diri pada
konsep PHT. Pada saat ini (1997-1999) sedang dilakukan studi dasar ekonomi
sosial dan persiapan sosial penerapan PHT pada lima komoditas perkebunan, yang
diharapkan nantinya akan segera diikuti dengan pelatihan-pelatihan petani
menggunakan mekanisme SLPHT. Penanganan semacam ini juga masih diarahkan pada
perkebunan rakyat, karena jenis perkebunan inilah yang menghendaki bimbingan
secara intensif dari para ahli dan petugas yang berwenang. Perkebunan besar
diharapkan memahami keuntungan penerapan PHT bukan dari bimbingan yang umumnya
harus sedikit paternalistik, melainkan dari kesadaran pengelola perkebunannya,
dengan pendekatan manajemen yang benar, didasari oleh pengetahuan teknis yang
cukup, baik tentang hal perlindungan tanaman maupun hal-hal lain yang berkaitan
erat dengan masalah penyelenggaraan produksi (ekologi, budidaya, pengolahan,
pemasaran dll).
Sifat
komoditas perkebunan yang pada umumnya merupakan tanaman tahunan menyebabkan
watak budidayanya menjadi berbeda, demikian juga lingkungan dan ekosistemnya.
Tanaman tahunan memungkinkan pemapanan musuh alami karena keberadaannya yang
lebih lama/panjang dibandingkan tanaman semusim. Oleh karena itu pendekatan
pengendalian hayati mungkin akan lebih memadai bagi suatu usaha perkebunan
daripada semata-mata menggantungkan diri pada penggunaan bahan kimia pestisida.
Dengan demikian dasar-dasar pengetahuan biologi tanaman, hama, dan musuh
alaminya harus dipahami benar untuk dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Permasalahannya,
acapkali justru perkebunan besar melakukan pendekatan paling mudah dalam
melakukan perlindungan tanaman, yaitu penyemprotan dan aplikasi pestisida
secara rutin.
Hama Tanaman Hortikultura.
Tanaman hortikultura meliputi sayuran, buahan dan tanaman hias. Seiring dengan
peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka jenis tanaman hortikultura yang
ketiga pun saat ini telah semakin meningkat peminatnya. Dari ketiga jenis tersebut,
maka tanaman buahan dan sayuran merupakan jenis yang mudah rusak
("perishable") dan harus dikonsumsi segera. Kenyataan ini menyebabkan
pengelolaan hama tidak hanya penting pada saat di pertanaman saja, melainkan
juga ketika produk telah dipanen dan menunggu konsumen. Penyelamatan pada produk
pascapanen sendiri berkeuntungan ganda : menyelamatkannya dari serangan jasad
pengganggu, dan meningkatkan umur tunggu ("shelf-life") produk.
Usaha ini dikenal dengan "commodity treatment", penanganan komoditas.
Ini berlaku untuk produk hortikultura tanpa kecuali, juga pada tanaman buahan
yang berupa pohon/tanaman keras.
Usaha
pengelolaan/pengendalian jasad pengganggu pada saat usaha tani hortikultura
berlangsung di lapangan merupakan bentuk penerapan program PHT seperti pada
tanaman pangan dan palawija. SLPHT yang pernah diterapkan antara lain adalah
pada bawang merah, kubis dan kentang. Sebaliknya, usaha penanganan komoditas
masih belum banyak diterapkan, bahkan belum banyak yang tahu arti penting
perlakuan semacam ini. Usaha perlakuan komoditas semula juga mengandalkan
perlakuan khemis dengan berbagai bahan fumigan, seperti misalnya CH3Br, CH3I,
DDVP dan lain-lain. Saat ini karena pemahaman akan bahaya bahan residu dan
sejenisnya, digunakan cara-cara mekanis (pembungkusan dengan kertas kue,
seperti misalnya pada pir/persik), cara fisis (dengan pelapisan lilin,
pengaliran udara atau air panas, proses beku-kering atau
"freeze-drying"), atau pun melalui cara pengemasan/pengolahan produk
langsung menjadi siapan/preparasi yang lebih awet/tahan lama. Penggunaan bahan
pengawet yang lebih alami seperti misalnya produk nabati juga dapat
dipergunakan dalam usaha perlakuan komoditas.
Penanganan
produk hortikultura bungaan/tanaman hias mungkin bisa menjadi agak berbeda
dengan tanaman hortikultura yang lain karena sifat produknya yang tidak
dikonsumsi langsung sebagai bahan pangan. Oleh karenanya penggunaan bahan kimia
buatan agak sedikit lebih "longgar" dibanding jika yang diperlakukan
adalah produk hortikultura sayuran dan buahan. Yang perlu dijaga pada akhirnya
bukan semata-mata kehilangan kuantitas, tetapi lebih lagi adalah kehilangan
kualitas, atau yang sering disebut sebagai "aesthetical damage".
Sebaliknya memang terdapat gangguan jasad yang justru meningkatkan kualitas
produk hortikultura bungaan (florikultura) karena memunculkan pola warna yang
lebih eksotis atau berbeda dengan yang umumnya ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar