Daftar Blog Saya

Minggu, 30 Oktober 2011

PEMAHAMAN TENTANG HAMA


PEMAHAMAN TENTANG HAMA 

    Kapan suatu herbivora dapat disebut hama? Pendefinisian hama merupakan pendefinisian yang bersifat "antroposentrik", berpusat pada kebutuhan manusia. Pengetahuan tentang dasar-dasar biologi menunjukkan bahwa herbivora, jasad pemakan tumbuhan, merupakan suatu kumpulan trofi yang memang bertugas mengatur populasi tumbuhan (atau secara metabolis, herbivora adalah jasad yang hanya mampu memanfaatkan energi yang telah diolah, atau jasad heterotrof). Herbivora ini disebut hama atau jasad pengganggu (OPT, Organisme Pengganggu Tanaman) karena memakan tumbuhan yang diusahakan baik secara ekonomis maupun subsisten, oleh manusia.
     Pengertian terakhir inilah yang membedakan herbivora dengan hama. Karena didefinisikan melalui kebutuhan manusia, maka seharusnya kedudukannya tidak dianggap sebagai pengganggu ("nuisance"), melainkan resiko ("risk"), karena akan selalu dijumpai selama manusia menyelenggarakan usaha pertanian. Pertanian, terutama yang mengutamakan penanaman satu jenis (univarietas, monokultur) memang mengandung resiko didatangi herbivora, karena :
  1. Monokultur pada prinsipnya bertentangan dengan keanekaragaman hayati
  2. Keberadaan tumbuhan/tanaman dalam jumlah banyak pada suatu hamparan pasti akan menarik herbivora
  3. Sebagai suatu ekosistem binaan, ekosistem pertanian mencari keseimbangan homeostasis dengan membentuk piramda makanan khusus dalam ekosistem ybs.
     Kenyataan di atas menyebabkan perlunya strategi atau taktik khusus menghadapi hama, dengan tetap mengingat bahwa tujuan yang terutama bukanlah memusnahkan jenis-jenis hama yang hadir, tetapi menjaga keseimbangan ekologi sehingga interaksi antar komponen lingkungan dalam agroekosistem mampu menghasilkan kestabilan kondisi interna. Oleh karena itu filosofi pengendalian hama saat ini bukan lagi bertujuan membersihkan atau memusnahkan jasad "pengganggu", melainkan menyelenggarakan usaha pertanian yang harmonis dengan kehidupan ekologis lingkungannya, tanpa harus mengalami kerugian ekonomi.
     Kehadiran jasad herbivora dengan demikian dihadapi berdasar pertimbangan ekologi, biologi dan ekonomi. Hubungan jasad herbivora menuju ke kerugian ekonomi secara lateral adalah sebagai berikut:
individu  ®  spesies  ®  populasi  ®  serangan  ®® kerusakan ® kerugian
Hubungan di atas menunjukkan bahwa jasad herbivora yang terdiri atas individu akan berkumpul membentuk populasi dan bersama-sama melakukan "serangan" (dilihat dari sisi jasad herbivora) sehingga mengakibatkan "kerusakan" (dilihat dari sisi tumbuhan) dan menimbulkan "kerugian ekonomi" (dilihat dari sisi kepentingan penanam/manusia)
     Hubungan tersebut kemudian juga menekankan pentingnya "jumlah anggota populasi" sebagai tolok ukur kerugian (atau kemungkinan kerugian) yang terjadi. Dari segi ini, maka jumlah anggota populasi merupakan tolok ukur arti penting bahaya hama bila dilihat dari :
  • Mudah atau tidaknya jumlah anggota populasi meningkat. Populasi serangga hama pada umumnya menjadi penting karena kemampuan peningkatan populasi dengan cepat menuju jumlah tinggi
  • Kemampuan merusak individu jasad. Seekor gajah meskipun hanya satu akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan seekor wereng batang padi.
  • Kedudukan/peran jasad pengganggu dalam hubungannya dengan pengganggu yang lain. Kutu afid yang menjadi vektor meski jumlahnya hanya sedikit harus segera diwaspadai karena memiliki potensi merusak yang besar
Dilihat dari sisi tumbuhannya, kerusakan yang terjadi juga dapat menjadi penting jika:

  • Bagian tanaman yang dirusak memiliki arti ekonomi penting. Ulat yang menyerang daun tembakau atau daun kubis merupakan pengganggu yang penting dibanding dengan ulat yang menyerang daun padi atau daun kelapa, karena nilai ekonomi kubis dan tembakau terdapat pada daun. Dengan demikian hama buah kakao, hama biji kopi, hama batang tebu dan seterusnya merupakan hama penting untuk masing-masing komoditas tersebut.
  • Kerusakan tidak hanya berakibat menurunnya kuantitas tetapi juga menurunkan kualitas. Hama pascapanen yang tidak hanya menurunkan berat bahan simpanan tetapi juga mengotori produk jelas lebih merugikan dibanding yang hanya mengurangi bobot produk. Hama-hama hortikultura yang merusak kualitas menjadi amat penting meski tidak mengurangi berat atau volume produk.
  • Kemampuan toleransi atau resistensi tumbuhan terhadap jasad herbivora.  Tumbuhan yang lebih cepat pulih, atau tidak mudah rusak karena serangan jasad pengganggu menyebabkan jasad herbivora yang memakannya kurang atau bahkan tidak diperhatikan sebagai penyebab kerugian.
  • Tanaman/tumbuhan yang menghasilkan produk bermanfaat justru karena serangan hama malahan diharapkan, agar tanaman diserang jasad pengganggu. Kehadiran ulat kipat (Cricula trifenestrata) pada tanaman kedondong atau alpukat misalnya, seringkali malah diharapkan oleh penanamnya. Demikian juga kehadiran kutu yang mengundang semut rangrang (Oecophylla smaradigna), acapkali dibiarkan saja karena larva semut memiliki nilai ekonomi sebagai pakan burung.
     Selanjutnya, kerugian ekonomi yang timbul juga masih akan dilihat dari nilai ekonomi produk yang dihasilkan tanaman. Tanaman dengan nilai ekonomi tinggi akan dilindungi dari serangan hama dengan lebih intensif daripada tanaman yang nilainya rendah. Kerugian ekonomi dengan demikian didefinisikan berdasar kepada sifat-sifat jasad pengganggu, sifat-sifat tanaman maupun sitindak atau interaksi antara keduanya beserta lingkungan sekitar (biologi dan ekologi); dan sifat sosio-ekonomik tanaman maupun usaha taninya bagi si penanam.
    Pemahaman ekologi menyebabkan kedudukan habitat jasad pengganggu perlu diperhatikan. Selama ini barangkali jasad pengganggu hanya dikenal pada lingkungan pertanian. Namun sesungguhnya ekosistem di luar pertanian pun juga tidak lepas dari serangan jasad pengganggu. Wilayah perkotaan yang berkembang dengan membina pertamanan, paru-paru kota, menghijaukan tepi jalan maupun median (pertengahan) jalan, kompleks pemukiman yang mengutamakan kehijauan dan kerindangan, padang dan lapangan olah raga; semuanya merupakan ekosistem binaan di luar pertanian yang tak lepas dari serangan jasad pengganggu. Sayang perhatian terhadap hama-hama urban semacam ini di negeri kita masih belum berkembang dengan baik.
Hama dan Komoditasnya : Pengantar
     Pada akhirnya pembicaraan mengenai hama akan sampai kepada hubungannya secara langsung terhadap jenis tanaman yang diserangnya, atau komoditas yang menderita kerusakan dan kerugian karena gangguan hama. Pengelompokan hama pada masing-masing komoditas ditekankan kepada hubungan ekonominya, sehingga terdapat hama penting (major pests), hama kurang penting (minor pests), hama kadang-kadang (occasional pests) dan hama migran (migrant pests). Untuk penggolongan hama dalam suatu komoditas yang lebih jelas dapat dilihat pada Untung (1993).
Penggolongan hama dapat dilakukan pula berdasar kelompok komoditasnya. Penggolongan ini mengelompokkan hama menjadi
  1. Hama Tanaman Pangan
  2. Hama Tanaman Hortikultura
  3. Hama Tanaman Perkebunan
  4. Hama Hutan, di luar lingkup)
  5. Hama Urban/Perkotaan (taman dan lapangan)
  6. Hama Pascapanen
  7. Hama Ternak dan Perikanan, di luar lingkup pembicaraan)

     Meskipun kadang menjadi kurang praktis (karena secara budidaya antara kelompok komoditas mungkin terdapat salingtindih dalam teknik pengelolaannya), namun yang menjadi penting adalah pemahaman mengenai sistem tempat hama berada, sehingga hubungan pengelolaan hama dengan faktor produksi atau faktor pengelolaan lain dapat lebih mudah dipergunakan untuk mengatasi permasalahan.
     Empat langkah yang dipergunakan mengatasi permasalahan hama (terutama serangga) adalah (1) identifikasi jasad pengganggu, (2) mengukur kuantitas pengaruh jasad pengganggu terhadap tanaman, (3) mempertimbangkan apakah pengelolaan diperlukan, dan (4) menerapkan taktik pengelolaan hama yang tepat. Jika yang diamati adalah hama sebagai individu, maka tekanannya adalah pada identifikasinya, namun dalam menghadapi permasalahan hama maka wawasan harus diperluas sampai menjangkau kemungkinan pengelolaan dan kendala yang muncul untuk jasad dan komoditas yang berbeda.
     Pengelompokan komoditas biasanya didasarkan pada luas areal atau nilai produksi, tetapi seperti yang terlihat di atas pengelompokan juga dapat didasarkan pada strategi praktis menghadapi jasad pengganggunya. Memang harus diusahakan agar penentuan jasad pengganggu yang paling penting dilakukan secara obyektif (bukan karena lebih banyak dikenal, mudah dihadapi, terdapat cara pengelolaan yang mudah dll.). Pengelompokan seperti yang disampaikan dalam komoditas mungkin juga harus diperhatikan sungguh-sungguh. Hama yang selalu ada dalam jumlah besar dan merugikan memang penting, tetapi boleh jadi terdapat hama kadang-kadang yang tidak kalah penting artinya pada saat-saat tertentu. Arti penting jasad pengganggu dapat bervariasi mengikuti wilayah geografis/ekologis tertentu atau waktu/musim tertentu.
     Salah satu hal yang juga perlu dipahami adalah bahwa meskipun pengelolaan hama dapat ditinjau sebagai suatu masalah tersendiri, namun semua konsep pengelolaan hama diselenggarakan dalam konteks sistem produksi. Dalam pertanian, sistem produksi tersebut berbasis pada suatu komoditas tunggal. Jasad pengganggu yang berada pada kondisi/sistem yang berbeda menghendaki cara penanganan yang berbeda pula.
     Selanjutnya perlu diingat bahwa komoditas yang memiliki arti penting, pastilah telah memiliki catatan yang cukup lengkap mengenai berbagai jenis jasad pengganggu yang menyerangnya. Persoalan kita adalah bagaimana memperoleh informasi tersebut secara cepat dan benar, sehingga kita perlu mengetahui instansi/dinas/satgas atau laboratorium mana yang memiliki informasi jenis jasad yang kita hadapi pada tanaman/komoditas tertentu tersebut. Terdapat Balai Penelitian, Dinas Pertanian dan Perkebunan, Laboratorium Lapangan sampai ke Perguruan Tinggi yang menyediakan berbagai gambar, kunci identifikasi, contoh/sampel dan berbagai keterangan mengenai berbagai jenis jasad penganggu. Sumber informasi semacam ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.  Selain itu, untuk kepentingan pemahaman mata kuliah ini, praktikum telah diusahakan agar dapat memperkenalkan mahasiswa dengan situasi lapangan yang sesungguhnya. Hama-hama tanaman pangan/hortikultura, tanaman perkebunan, hama-hama urban dan pascapanen telah diberikan sebagai obyek kajian praktikum pada mata kuliah ini. Selanjutnya untuk lebih memahami gejala kerusakan, jenis OPT, bentuk, ukuran, dan penampilan fisik lainnya, mata kuliah Klinik Hama dan Penyakit akan sangat berguna untuk mengenal hal-hal tersebut lebih jauh dan lebih rinci.
     Pemaparan yang lebih komprehensif jasad demi jasad akan diberikan melalui mata kuliah Hama dan Penyakit Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Pascapanen.
Hama Tanaman Pangan. Dalam istilah bahasa Inggris, digunakan frasa "Agronomic Pests", yang cakupannya lebih luas dari pemenuhan kebutuhan pangan. Di Indonesia, tekanannya adalah pengadaan pangan, sehingga pengganggu proses inilah yang terpenting, jadi istilahnya "Hama Tanaman Pangan". Tanaman pangan yang dipenting­kan adalah penghasil bahan makan pokok, yang di bumi ini hampir 80% dipenuhi oleh bijian serealia (anggota familia Poaceae atau Graminae : beras, gandum, jagung, shorgum, millet, jali dll. ), selain juga dipenuhi oleh umbian atau akar (Convolvulaceae : ubi jalar, Dioscoreaceae : ubi ungu, gadhung, gembolo, gembili; Canna­ceae : talas, garut; Euphorbiaceae : ketela pohon; Solanaceae : kentang), tepung batang (Arecaceae atau Palmae : aren, sagu), dan buah (Moraceae : sukun, Musaceae : pisang). Terlihat bahwa kebanyakan tanaman pangan yang ada merupakan sumber karbohidrat, sehingga ketertarikan jasad pengganggu hama dapat diperhitungkan melalui sifat ini. Jenis tanaman pangan yang lain ada yang merupakan sumber protein dan minyak, misalnya kedelai dan kacang-kacangan. Pola jenis hamanya menjadi berbeda dengan kelompok pertama.
     Namun salah satu ciri yang cukup jelas adalah bahwa kebanya­kan tanaman pangan merupakan tanaman semusim (annual, biennial). Dengan demikian jenis tanaman ini kebanyakan akan dibongkar sesudah menghasilkan, sehingga perkembangan jasad herbivora yang mengikutinya akan menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Jasad pengganggu yang menyerangnya umumnya berumur lebih pendek daripada daur tanamannya, atau kalaupun berumur lebih panjang, maka perlu tersedia pakan pengganti sehingga tidak kehabisan makanan. Pada kenyataannya, penyesuaian diri banyak jenis jasad pengganggu telah demikian baik sehingga terdapat hama yang menyerang pada masa yang amat pendek saja, misalnya walang sangit.
     Perkembangan penyesuaian yang terjadi antara tanaman semusim dengan jasad pengganggunya telah berlangsung demikian lama, sehingga lingkungan pertanaman merupakan suatu ekosistem tersen­diri dengan ciri tertentu. Julukan "agroekosistem" mengacu kepada proses yang telah berjalan lama, yang menyatukan sitindak antara hama--tanaman--jasad lain dan komponen abiotik yang ada di da­lamnya. Komponen abiotik ini sedikit banyak juga berada di bawah pengaruh manusia : tanah yang dipetak-petak dan dikendalikan kesuburannya, air yang diatur alirannya. Sedang komponen biotik yang diatur dengan cermat umumnya hanya tanamannya, sementara komponen biotik lainnya lalu menyesuaikan diri dengan irama tersebut. Pendekatan pengaturan untuk komponen biotik yang lain ini acapkali jauh dari cermat : diusir, dibunuh, dianggap kompo­nen yang "tak berperan", sehingga perlakuan terhadap mereka lebih menuju upaya pemusnahan untuk mengunggulkan satu komponen biotik saja, yaitu tanaman.
     Upaya pendekatan pengaturan yang semacam ini menyebabkan kondisi "berat sebelah" dalam agroekosistem. Oleh karena itu pendekatan yang seharusnya dilakukan adalah mempertimbangkan sistem pertanaman secara komprehensif, secara holistik, atau menerapkan suatu sistem Pengelolaan Hama Terpadu. Di negeri kita, tanaman pangan yang memiliki posisi politis yang strategis tidak dapat hanya dikelola dengan pendekatan teknis peningkatan produk­si saja,melainkan juga secara lengkap mempertimbangkan faktor-faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan pertanaman baik secara teknis maupun non-teknis. Ini dituangkan dalam bentuk prinsip-prinsip PHT, pemantauan terhadap berbagai kondisi ekosis­tem, baik pertanaman (ekologi, biologi) maupun sosial-ekonomi.
     Jadi pertimbangan komoditas pangan sebagai dasar strategi pengelolaan hamanya, sebagaimana halnya strategi untuk komoditas-komoditas lainnya, mengacu pada :
  1. Sifat komoditasnya, baik sifat agronomi, ekologi maupun ekono­minya
  2. Kondisi lingkungan pertanamannya
  3. Pemahaman dan ketersediaan teknologi pengelolaannya.
Hama Tanaman Perkebunan. Pada komoditas perkebunan, nilai ekonomi merupakan pertimbangan yang amat penting karena memang komoditas perkebunan umumnya ditanam untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Sifat berikutnya yang penting adalah jenis tanaman perkebunan yang kebanyakan perennial, dan diusahakan pada hamparan yang amat luas secara monokultur dengan bentuk agroekosistem yang memiliki keanekaragaman agak lebih banyak daripada tanaman pangan. Sifat ketiga, berhubungan dengan usaha taninya. Banyak perkebunan yang lebih merupakan usaha besar dibanding perkebunan rakyat, sehingga model pengelolaannya memang mengutamakan efisiensi ekonomi.
     Penanganan masalah hama pada bidang perkebunan memang masih belum mendasarkan diri pada konsep PHT. Pada saat ini (1997-1999) sedang dilakukan studi dasar ekonomi sosial dan persiapan sosial penerapan PHT pada lima komoditas perkebunan, yang diharapkan nantinya akan segera diikuti dengan pelatihan-pelatihan petani menggunakan mekanisme SLPHT. Penanganan semacam ini juga masih diarahkan pada perkebunan rakyat, karena jenis perkebunan inilah yang menghendaki bimbingan secara intensif dari para ahli dan petugas yang berwenang. Perkebunan besar diharapkan memahami keuntungan penerapan PHT bukan dari bimbingan yang umumnya harus sedikit paternalistik, melainkan dari kesadaran pengelola perke­bunannya, dengan pendekatan manajemen yang benar, didasari oleh pengetahuan teknis yang cukup, baik tentang hal perlindungan tanaman maupun hal-hal lain yang berkaitan erat dengan masalah penyelenggaraan produksi (ekologi, budidaya, pengolahan, pemasar­an dll).
     Sifat komoditas perkebunan yang pada umumnya merupakan tanaman tahunan menyebabkan watak budidayanya menjadi berbeda, demikian juga lingkungan dan ekosistemnya. Tanaman tahunan me­mungkinkan pemapanan musuh alami karena keberadaannya yang lebih lama/panjang dibandingkan tanaman semusim. Oleh karena itu pende­katan pengendalian hayati mungkin akan lebih memadai bagi suatu usaha perkebunan daripada semata-mata menggantungkan diri pada penggunaan bahan kimia pestisida. Dengan demikian dasar-dasar pengetahuan biologi tanaman, hama, dan musuh alaminya harus dipahami benar untuk dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Permasa­lahannya, acapkali justru perkebunan besar melakukan pendekatan paling mudah dalam melakukan perlindungan tanaman, yaitu penyem­protan dan aplikasi pestisida secara rutin.
Hama Tanaman Hortikultura. Tanaman hortikultura meliputi sayuran, buahan dan tanaman hias. Seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka jenis tanaman hortikultura yang ketiga pun saat ini telah semakin meningkat peminatnya. Dari ketiga jenis terse­but, maka tanaman buahan dan sayuran merupakan jenis yang mudah rusak ("perishable") dan harus dikonsumsi segera. Kenyataan ini menyebabkan pengelolaan hama tidak hanya penting pada saat di pertanaman saja, melainkan juga ketika produk telah dipanen dan menunggu konsumen. Penyelamatan pada produk pascapanen sendiri berkeuntungan ganda : menyelamatkannya dari serangan jasad peng­ganggu, dan meningkatkan umur tunggu ("shelf-life") produk. Usaha ini dikenal dengan "commodity treatment", penanganan komoditas. Ini berlaku untuk produk hortikultura tanpa kecuali, juga pada tanaman buahan yang berupa pohon/tanaman keras.
     Usaha pengelolaan/pengendalian jasad pengganggu pada saat usaha tani hortikultura berlangsung di lapangan merupakan bentuk penerapan program PHT seperti pada tanaman pangan dan palawija. SLPHT yang pernah diterapkan antara lain adalah pada bawang merah, kubis dan kentang. Sebaliknya, usaha penanganan komoditas masih belum banyak diterapkan, bahkan belum banyak yang tahu arti penting perlakuan semacam ini. Usaha perlakuan komoditas semula juga mengandalkan perlakuan khemis dengan berbagai bahan fumigan, seperti misalnya CH3Br, CH3I, DDVP dan lain-lain. Saat ini karena pemahaman akan bahaya bahan residu dan sejenisnya, digunakan cara-cara mekanis (pembungkusan dengan kertas kue, seperti mis­alnya pada pir/persik), cara fisis (dengan pelapisan lilin, pengaliran udara atau air panas, proses beku-kering atau "freeze-drying"), atau pun melalui cara pengemasan/pengolahan produk langsung menjadi siapan/preparasi yang lebih awet/tahan lama. Penggunaan bahan pengawet yang lebih alami seperti misalnya produk nabati juga dapat dipergunakan dalam usaha perlakuan komoditas.
     Penanganan produk hortikultura bungaan/tanaman hias mungkin bisa menjadi agak berbeda dengan tanaman hortikultura yang lain karena sifat produknya yang tidak dikonsumsi langsung sebagai bahan pangan. Oleh karenanya penggunaan bahan kimia buatan agak sedikit lebih "longgar" dibanding jika yang diperlakukan adalah produk hortikultura sayuran dan buahan. Yang perlu dijaga pada akhirnya bukan semata-mata kehilangan kuantitas, tetapi lebih lagi adalah kehilangan kualitas, atau yang sering disebut sebagai "aesthetical damage". Sebaliknya memang terdapat gangguan jasad yang justru meningkatkan kualitas produk hortikultura bungaan (florikultura) karena memunculkan pola warna yang lebih eksotis atau berbeda dengan yang umumnya ada. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar