Daftar Blog Saya

Minggu, 30 Oktober 2011

PEMAHAMAN TENTANG HAMA


PEMAHAMAN TENTANG HAMA 

    Kapan suatu herbivora dapat disebut hama? Pendefinisian hama merupakan pendefinisian yang bersifat "antroposentrik", berpusat pada kebutuhan manusia. Pengetahuan tentang dasar-dasar biologi menunjukkan bahwa herbivora, jasad pemakan tumbuhan, merupakan suatu kumpulan trofi yang memang bertugas mengatur populasi tumbuhan (atau secara metabolis, herbivora adalah jasad yang hanya mampu memanfaatkan energi yang telah diolah, atau jasad heterotrof). Herbivora ini disebut hama atau jasad pengganggu (OPT, Organisme Pengganggu Tanaman) karena memakan tumbuhan yang diusahakan baik secara ekonomis maupun subsisten, oleh manusia.
     Pengertian terakhir inilah yang membedakan herbivora dengan hama. Karena didefinisikan melalui kebutuhan manusia, maka seharusnya kedudukannya tidak dianggap sebagai pengganggu ("nuisance"), melainkan resiko ("risk"), karena akan selalu dijumpai selama manusia menyelenggarakan usaha pertanian. Pertanian, terutama yang mengutamakan penanaman satu jenis (univarietas, monokultur) memang mengandung resiko didatangi herbivora, karena :
  1. Monokultur pada prinsipnya bertentangan dengan keanekaragaman hayati
  2. Keberadaan tumbuhan/tanaman dalam jumlah banyak pada suatu hamparan pasti akan menarik herbivora
  3. Sebagai suatu ekosistem binaan, ekosistem pertanian mencari keseimbangan homeostasis dengan membentuk piramda makanan khusus dalam ekosistem ybs.
     Kenyataan di atas menyebabkan perlunya strategi atau taktik khusus menghadapi hama, dengan tetap mengingat bahwa tujuan yang terutama bukanlah memusnahkan jenis-jenis hama yang hadir, tetapi menjaga keseimbangan ekologi sehingga interaksi antar komponen lingkungan dalam agroekosistem mampu menghasilkan kestabilan kondisi interna. Oleh karena itu filosofi pengendalian hama saat ini bukan lagi bertujuan membersihkan atau memusnahkan jasad "pengganggu", melainkan menyelenggarakan usaha pertanian yang harmonis dengan kehidupan ekologis lingkungannya, tanpa harus mengalami kerugian ekonomi.
     Kehadiran jasad herbivora dengan demikian dihadapi berdasar pertimbangan ekologi, biologi dan ekonomi. Hubungan jasad herbivora menuju ke kerugian ekonomi secara lateral adalah sebagai berikut:
individu  ®  spesies  ®  populasi  ®  serangan  ®® kerusakan ® kerugian
Hubungan di atas menunjukkan bahwa jasad herbivora yang terdiri atas individu akan berkumpul membentuk populasi dan bersama-sama melakukan "serangan" (dilihat dari sisi jasad herbivora) sehingga mengakibatkan "kerusakan" (dilihat dari sisi tumbuhan) dan menimbulkan "kerugian ekonomi" (dilihat dari sisi kepentingan penanam/manusia)
     Hubungan tersebut kemudian juga menekankan pentingnya "jumlah anggota populasi" sebagai tolok ukur kerugian (atau kemungkinan kerugian) yang terjadi. Dari segi ini, maka jumlah anggota populasi merupakan tolok ukur arti penting bahaya hama bila dilihat dari :
  • Mudah atau tidaknya jumlah anggota populasi meningkat. Populasi serangga hama pada umumnya menjadi penting karena kemampuan peningkatan populasi dengan cepat menuju jumlah tinggi
  • Kemampuan merusak individu jasad. Seekor gajah meskipun hanya satu akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan seekor wereng batang padi.
  • Kedudukan/peran jasad pengganggu dalam hubungannya dengan pengganggu yang lain. Kutu afid yang menjadi vektor meski jumlahnya hanya sedikit harus segera diwaspadai karena memiliki potensi merusak yang besar
Dilihat dari sisi tumbuhannya, kerusakan yang terjadi juga dapat menjadi penting jika:

  • Bagian tanaman yang dirusak memiliki arti ekonomi penting. Ulat yang menyerang daun tembakau atau daun kubis merupakan pengganggu yang penting dibanding dengan ulat yang menyerang daun padi atau daun kelapa, karena nilai ekonomi kubis dan tembakau terdapat pada daun. Dengan demikian hama buah kakao, hama biji kopi, hama batang tebu dan seterusnya merupakan hama penting untuk masing-masing komoditas tersebut.
  • Kerusakan tidak hanya berakibat menurunnya kuantitas tetapi juga menurunkan kualitas. Hama pascapanen yang tidak hanya menurunkan berat bahan simpanan tetapi juga mengotori produk jelas lebih merugikan dibanding yang hanya mengurangi bobot produk. Hama-hama hortikultura yang merusak kualitas menjadi amat penting meski tidak mengurangi berat atau volume produk.
  • Kemampuan toleransi atau resistensi tumbuhan terhadap jasad herbivora.  Tumbuhan yang lebih cepat pulih, atau tidak mudah rusak karena serangan jasad pengganggu menyebabkan jasad herbivora yang memakannya kurang atau bahkan tidak diperhatikan sebagai penyebab kerugian.
  • Tanaman/tumbuhan yang menghasilkan produk bermanfaat justru karena serangan hama malahan diharapkan, agar tanaman diserang jasad pengganggu. Kehadiran ulat kipat (Cricula trifenestrata) pada tanaman kedondong atau alpukat misalnya, seringkali malah diharapkan oleh penanamnya. Demikian juga kehadiran kutu yang mengundang semut rangrang (Oecophylla smaradigna), acapkali dibiarkan saja karena larva semut memiliki nilai ekonomi sebagai pakan burung.
     Selanjutnya, kerugian ekonomi yang timbul juga masih akan dilihat dari nilai ekonomi produk yang dihasilkan tanaman. Tanaman dengan nilai ekonomi tinggi akan dilindungi dari serangan hama dengan lebih intensif daripada tanaman yang nilainya rendah. Kerugian ekonomi dengan demikian didefinisikan berdasar kepada sifat-sifat jasad pengganggu, sifat-sifat tanaman maupun sitindak atau interaksi antara keduanya beserta lingkungan sekitar (biologi dan ekologi); dan sifat sosio-ekonomik tanaman maupun usaha taninya bagi si penanam.
    Pemahaman ekologi menyebabkan kedudukan habitat jasad pengganggu perlu diperhatikan. Selama ini barangkali jasad pengganggu hanya dikenal pada lingkungan pertanian. Namun sesungguhnya ekosistem di luar pertanian pun juga tidak lepas dari serangan jasad pengganggu. Wilayah perkotaan yang berkembang dengan membina pertamanan, paru-paru kota, menghijaukan tepi jalan maupun median (pertengahan) jalan, kompleks pemukiman yang mengutamakan kehijauan dan kerindangan, padang dan lapangan olah raga; semuanya merupakan ekosistem binaan di luar pertanian yang tak lepas dari serangan jasad pengganggu. Sayang perhatian terhadap hama-hama urban semacam ini di negeri kita masih belum berkembang dengan baik.
Hama dan Komoditasnya : Pengantar
     Pada akhirnya pembicaraan mengenai hama akan sampai kepada hubungannya secara langsung terhadap jenis tanaman yang diserangnya, atau komoditas yang menderita kerusakan dan kerugian karena gangguan hama. Pengelompokan hama pada masing-masing komoditas ditekankan kepada hubungan ekonominya, sehingga terdapat hama penting (major pests), hama kurang penting (minor pests), hama kadang-kadang (occasional pests) dan hama migran (migrant pests). Untuk penggolongan hama dalam suatu komoditas yang lebih jelas dapat dilihat pada Untung (1993).
Penggolongan hama dapat dilakukan pula berdasar kelompok komoditasnya. Penggolongan ini mengelompokkan hama menjadi
  1. Hama Tanaman Pangan
  2. Hama Tanaman Hortikultura
  3. Hama Tanaman Perkebunan
  4. Hama Hutan, di luar lingkup)
  5. Hama Urban/Perkotaan (taman dan lapangan)
  6. Hama Pascapanen
  7. Hama Ternak dan Perikanan, di luar lingkup pembicaraan)

     Meskipun kadang menjadi kurang praktis (karena secara budidaya antara kelompok komoditas mungkin terdapat salingtindih dalam teknik pengelolaannya), namun yang menjadi penting adalah pemahaman mengenai sistem tempat hama berada, sehingga hubungan pengelolaan hama dengan faktor produksi atau faktor pengelolaan lain dapat lebih mudah dipergunakan untuk mengatasi permasalahan.
     Empat langkah yang dipergunakan mengatasi permasalahan hama (terutama serangga) adalah (1) identifikasi jasad pengganggu, (2) mengukur kuantitas pengaruh jasad pengganggu terhadap tanaman, (3) mempertimbangkan apakah pengelolaan diperlukan, dan (4) menerapkan taktik pengelolaan hama yang tepat. Jika yang diamati adalah hama sebagai individu, maka tekanannya adalah pada identifikasinya, namun dalam menghadapi permasalahan hama maka wawasan harus diperluas sampai menjangkau kemungkinan pengelolaan dan kendala yang muncul untuk jasad dan komoditas yang berbeda.
     Pengelompokan komoditas biasanya didasarkan pada luas areal atau nilai produksi, tetapi seperti yang terlihat di atas pengelompokan juga dapat didasarkan pada strategi praktis menghadapi jasad pengganggunya. Memang harus diusahakan agar penentuan jasad pengganggu yang paling penting dilakukan secara obyektif (bukan karena lebih banyak dikenal, mudah dihadapi, terdapat cara pengelolaan yang mudah dll.). Pengelompokan seperti yang disampaikan dalam komoditas mungkin juga harus diperhatikan sungguh-sungguh. Hama yang selalu ada dalam jumlah besar dan merugikan memang penting, tetapi boleh jadi terdapat hama kadang-kadang yang tidak kalah penting artinya pada saat-saat tertentu. Arti penting jasad pengganggu dapat bervariasi mengikuti wilayah geografis/ekologis tertentu atau waktu/musim tertentu.
     Salah satu hal yang juga perlu dipahami adalah bahwa meskipun pengelolaan hama dapat ditinjau sebagai suatu masalah tersendiri, namun semua konsep pengelolaan hama diselenggarakan dalam konteks sistem produksi. Dalam pertanian, sistem produksi tersebut berbasis pada suatu komoditas tunggal. Jasad pengganggu yang berada pada kondisi/sistem yang berbeda menghendaki cara penanganan yang berbeda pula.
     Selanjutnya perlu diingat bahwa komoditas yang memiliki arti penting, pastilah telah memiliki catatan yang cukup lengkap mengenai berbagai jenis jasad pengganggu yang menyerangnya. Persoalan kita adalah bagaimana memperoleh informasi tersebut secara cepat dan benar, sehingga kita perlu mengetahui instansi/dinas/satgas atau laboratorium mana yang memiliki informasi jenis jasad yang kita hadapi pada tanaman/komoditas tertentu tersebut. Terdapat Balai Penelitian, Dinas Pertanian dan Perkebunan, Laboratorium Lapangan sampai ke Perguruan Tinggi yang menyediakan berbagai gambar, kunci identifikasi, contoh/sampel dan berbagai keterangan mengenai berbagai jenis jasad penganggu. Sumber informasi semacam ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.  Selain itu, untuk kepentingan pemahaman mata kuliah ini, praktikum telah diusahakan agar dapat memperkenalkan mahasiswa dengan situasi lapangan yang sesungguhnya. Hama-hama tanaman pangan/hortikultura, tanaman perkebunan, hama-hama urban dan pascapanen telah diberikan sebagai obyek kajian praktikum pada mata kuliah ini. Selanjutnya untuk lebih memahami gejala kerusakan, jenis OPT, bentuk, ukuran, dan penampilan fisik lainnya, mata kuliah Klinik Hama dan Penyakit akan sangat berguna untuk mengenal hal-hal tersebut lebih jauh dan lebih rinci.
     Pemaparan yang lebih komprehensif jasad demi jasad akan diberikan melalui mata kuliah Hama dan Penyakit Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Pascapanen.
Hama Tanaman Pangan. Dalam istilah bahasa Inggris, digunakan frasa "Agronomic Pests", yang cakupannya lebih luas dari pemenuhan kebutuhan pangan. Di Indonesia, tekanannya adalah pengadaan pangan, sehingga pengganggu proses inilah yang terpenting, jadi istilahnya "Hama Tanaman Pangan". Tanaman pangan yang dipenting­kan adalah penghasil bahan makan pokok, yang di bumi ini hampir 80% dipenuhi oleh bijian serealia (anggota familia Poaceae atau Graminae : beras, gandum, jagung, shorgum, millet, jali dll. ), selain juga dipenuhi oleh umbian atau akar (Convolvulaceae : ubi jalar, Dioscoreaceae : ubi ungu, gadhung, gembolo, gembili; Canna­ceae : talas, garut; Euphorbiaceae : ketela pohon; Solanaceae : kentang), tepung batang (Arecaceae atau Palmae : aren, sagu), dan buah (Moraceae : sukun, Musaceae : pisang). Terlihat bahwa kebanyakan tanaman pangan yang ada merupakan sumber karbohidrat, sehingga ketertarikan jasad pengganggu hama dapat diperhitungkan melalui sifat ini. Jenis tanaman pangan yang lain ada yang merupakan sumber protein dan minyak, misalnya kedelai dan kacang-kacangan. Pola jenis hamanya menjadi berbeda dengan kelompok pertama.
     Namun salah satu ciri yang cukup jelas adalah bahwa kebanya­kan tanaman pangan merupakan tanaman semusim (annual, biennial). Dengan demikian jenis tanaman ini kebanyakan akan dibongkar sesudah menghasilkan, sehingga perkembangan jasad herbivora yang mengikutinya akan menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Jasad pengganggu yang menyerangnya umumnya berumur lebih pendek daripada daur tanamannya, atau kalaupun berumur lebih panjang, maka perlu tersedia pakan pengganti sehingga tidak kehabisan makanan. Pada kenyataannya, penyesuaian diri banyak jenis jasad pengganggu telah demikian baik sehingga terdapat hama yang menyerang pada masa yang amat pendek saja, misalnya walang sangit.
     Perkembangan penyesuaian yang terjadi antara tanaman semusim dengan jasad pengganggunya telah berlangsung demikian lama, sehingga lingkungan pertanaman merupakan suatu ekosistem tersen­diri dengan ciri tertentu. Julukan "agroekosistem" mengacu kepada proses yang telah berjalan lama, yang menyatukan sitindak antara hama--tanaman--jasad lain dan komponen abiotik yang ada di da­lamnya. Komponen abiotik ini sedikit banyak juga berada di bawah pengaruh manusia : tanah yang dipetak-petak dan dikendalikan kesuburannya, air yang diatur alirannya. Sedang komponen biotik yang diatur dengan cermat umumnya hanya tanamannya, sementara komponen biotik lainnya lalu menyesuaikan diri dengan irama tersebut. Pendekatan pengaturan untuk komponen biotik yang lain ini acapkali jauh dari cermat : diusir, dibunuh, dianggap kompo­nen yang "tak berperan", sehingga perlakuan terhadap mereka lebih menuju upaya pemusnahan untuk mengunggulkan satu komponen biotik saja, yaitu tanaman.
     Upaya pendekatan pengaturan yang semacam ini menyebabkan kondisi "berat sebelah" dalam agroekosistem. Oleh karena itu pendekatan yang seharusnya dilakukan adalah mempertimbangkan sistem pertanaman secara komprehensif, secara holistik, atau menerapkan suatu sistem Pengelolaan Hama Terpadu. Di negeri kita, tanaman pangan yang memiliki posisi politis yang strategis tidak dapat hanya dikelola dengan pendekatan teknis peningkatan produk­si saja,melainkan juga secara lengkap mempertimbangkan faktor-faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan pertanaman baik secara teknis maupun non-teknis. Ini dituangkan dalam bentuk prinsip-prinsip PHT, pemantauan terhadap berbagai kondisi ekosis­tem, baik pertanaman (ekologi, biologi) maupun sosial-ekonomi.
     Jadi pertimbangan komoditas pangan sebagai dasar strategi pengelolaan hamanya, sebagaimana halnya strategi untuk komoditas-komoditas lainnya, mengacu pada :
  1. Sifat komoditasnya, baik sifat agronomi, ekologi maupun ekono­minya
  2. Kondisi lingkungan pertanamannya
  3. Pemahaman dan ketersediaan teknologi pengelolaannya.
Hama Tanaman Perkebunan. Pada komoditas perkebunan, nilai ekonomi merupakan pertimbangan yang amat penting karena memang komoditas perkebunan umumnya ditanam untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Sifat berikutnya yang penting adalah jenis tanaman perkebunan yang kebanyakan perennial, dan diusahakan pada hamparan yang amat luas secara monokultur dengan bentuk agroekosistem yang memiliki keanekaragaman agak lebih banyak daripada tanaman pangan. Sifat ketiga, berhubungan dengan usaha taninya. Banyak perkebunan yang lebih merupakan usaha besar dibanding perkebunan rakyat, sehingga model pengelolaannya memang mengutamakan efisiensi ekonomi.
     Penanganan masalah hama pada bidang perkebunan memang masih belum mendasarkan diri pada konsep PHT. Pada saat ini (1997-1999) sedang dilakukan studi dasar ekonomi sosial dan persiapan sosial penerapan PHT pada lima komoditas perkebunan, yang diharapkan nantinya akan segera diikuti dengan pelatihan-pelatihan petani menggunakan mekanisme SLPHT. Penanganan semacam ini juga masih diarahkan pada perkebunan rakyat, karena jenis perkebunan inilah yang menghendaki bimbingan secara intensif dari para ahli dan petugas yang berwenang. Perkebunan besar diharapkan memahami keuntungan penerapan PHT bukan dari bimbingan yang umumnya harus sedikit paternalistik, melainkan dari kesadaran pengelola perke­bunannya, dengan pendekatan manajemen yang benar, didasari oleh pengetahuan teknis yang cukup, baik tentang hal perlindungan tanaman maupun hal-hal lain yang berkaitan erat dengan masalah penyelenggaraan produksi (ekologi, budidaya, pengolahan, pemasar­an dll).
     Sifat komoditas perkebunan yang pada umumnya merupakan tanaman tahunan menyebabkan watak budidayanya menjadi berbeda, demikian juga lingkungan dan ekosistemnya. Tanaman tahunan me­mungkinkan pemapanan musuh alami karena keberadaannya yang lebih lama/panjang dibandingkan tanaman semusim. Oleh karena itu pende­katan pengendalian hayati mungkin akan lebih memadai bagi suatu usaha perkebunan daripada semata-mata menggantungkan diri pada penggunaan bahan kimia pestisida. Dengan demikian dasar-dasar pengetahuan biologi tanaman, hama, dan musuh alaminya harus dipahami benar untuk dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Permasa­lahannya, acapkali justru perkebunan besar melakukan pendekatan paling mudah dalam melakukan perlindungan tanaman, yaitu penyem­protan dan aplikasi pestisida secara rutin.
Hama Tanaman Hortikultura. Tanaman hortikultura meliputi sayuran, buahan dan tanaman hias. Seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka jenis tanaman hortikultura yang ketiga pun saat ini telah semakin meningkat peminatnya. Dari ketiga jenis terse­but, maka tanaman buahan dan sayuran merupakan jenis yang mudah rusak ("perishable") dan harus dikonsumsi segera. Kenyataan ini menyebabkan pengelolaan hama tidak hanya penting pada saat di pertanaman saja, melainkan juga ketika produk telah dipanen dan menunggu konsumen. Penyelamatan pada produk pascapanen sendiri berkeuntungan ganda : menyelamatkannya dari serangan jasad peng­ganggu, dan meningkatkan umur tunggu ("shelf-life") produk. Usaha ini dikenal dengan "commodity treatment", penanganan komoditas. Ini berlaku untuk produk hortikultura tanpa kecuali, juga pada tanaman buahan yang berupa pohon/tanaman keras.
     Usaha pengelolaan/pengendalian jasad pengganggu pada saat usaha tani hortikultura berlangsung di lapangan merupakan bentuk penerapan program PHT seperti pada tanaman pangan dan palawija. SLPHT yang pernah diterapkan antara lain adalah pada bawang merah, kubis dan kentang. Sebaliknya, usaha penanganan komoditas masih belum banyak diterapkan, bahkan belum banyak yang tahu arti penting perlakuan semacam ini. Usaha perlakuan komoditas semula juga mengandalkan perlakuan khemis dengan berbagai bahan fumigan, seperti misalnya CH3Br, CH3I, DDVP dan lain-lain. Saat ini karena pemahaman akan bahaya bahan residu dan sejenisnya, digunakan cara-cara mekanis (pembungkusan dengan kertas kue, seperti mis­alnya pada pir/persik), cara fisis (dengan pelapisan lilin, pengaliran udara atau air panas, proses beku-kering atau "freeze-drying"), atau pun melalui cara pengemasan/pengolahan produk langsung menjadi siapan/preparasi yang lebih awet/tahan lama. Penggunaan bahan pengawet yang lebih alami seperti misalnya produk nabati juga dapat dipergunakan dalam usaha perlakuan komoditas.
     Penanganan produk hortikultura bungaan/tanaman hias mungkin bisa menjadi agak berbeda dengan tanaman hortikultura yang lain karena sifat produknya yang tidak dikonsumsi langsung sebagai bahan pangan. Oleh karenanya penggunaan bahan kimia buatan agak sedikit lebih "longgar" dibanding jika yang diperlakukan adalah produk hortikultura sayuran dan buahan. Yang perlu dijaga pada akhirnya bukan semata-mata kehilangan kuantitas, tetapi lebih lagi adalah kehilangan kualitas, atau yang sering disebut sebagai "aesthetical damage". Sebaliknya memang terdapat gangguan jasad yang justru meningkatkan kualitas produk hortikultura bungaan (florikultura) karena memunculkan pola warna yang lebih eksotis atau berbeda dengan yang umumnya ada. 

MENGHITUNG CURAH HUJAN (CH) RATA-RATA


                             MENGHITUNG CURAH HUJAN (CH) RATA-RATA

Pendahuluan

Data jumlah curah hujan (CH) rata -rata untuk suatu daerah tangkapan air
(catchment area) atau daerah aliran sungai (DAS) merupakan informasi yang
sangat diperlukan oleh pakar bidang hidrologi. Dalam bid ang pertanian data CH
sangat berguna, misalnya untuk pengaturan air irigasi , mengetahui neraca air
lahan, mengetahui besarnya aliran permukaan (run off).
Untuk dapat mewakili besarnya CH di suatu wilayah/daerah diperlukan
penakar CH dalam jumlah yang c ukup. Semakin banyak penakar dipasang di
lapangan diharapkan dapat diketahui besarnya rata -rata CH yang menunjukkan
besarnya CH yang terjadi di daerah tersebut. Disamping itu juga diketahui variasi
CH di suatu titik pengamatan.
Menurut (Hutchinson, 1970 ; Browning, 1987 dalam Asdak C. 1995)
Ketelitian hasil pengukuran CH tegantung pada variabilitas spasial CH,
maksudnya diperlukan semakin banyak lagi penakar CH bila kita mengukur CH di
suatu daerah yang variasi curah hujannya besar. Ketelitian akan semakin
meningkat dengan semakin banyak penakar yang dipasang, tetapi memerlukan
biaya mahal dan juga memerlukan banyak waktu dan tenaga dalam
pencatatannya di lapangan.
Media yang digunakan
1. Kalkulator atau
2. Komputer dengan program Sofware MS Excel
Tujuan Praktikum
1. Menghitung curah hujan dengan metode Rata -rata aritmatik.
2. Menghitung curah hujan dengan Teknik poligon (Thiessen polygon).
3. Menghitung curah hujan dengan Teknik Isohet (Isohyetal).
1. Cara rata-rata aritmatik
Cara rata-rata aritamatik adalah cara yang paling mudah diantara cara
lainnya (poligon dan isohet). Digunakan khususnya untuk daerah seragam
dengan variasi CH kecil. Cara ini dilakukan dengan mengukur serempak untuk
Penuntun Praktikum Agrohidrologi (oleh Ir. M. Mahbub PS Ilmu Tanah Unlam) I -2
lama waktu tertentu dari semua alat penakar dan dijumlahkan seluruhnya.
Kemudian hasil penjumlahannya dibagi dengan jumlah penakar hujan maka akan
dihasilkan rata-rata curah hujan di daerah tersebut. Secara matimatik ditulis
persamaan sbb:
perhitungan:
Untuk mengukur rata-rata curah hujan yang mewakili suatu daerah X
diperlukan 4 (empat buah) penakar hujan yaitu pada stasiun A, B, C dan D.
Tercatat selama waktu tertentu di stasiun A sebesar 6 cm, di B (10 cm), di C (8
cm) dan di D (11 cm).
Maka : Rata-rata CH = (6+10+8+11)/4 = 8,75 cm
2. Cara Poligon (Thiessen polygon)
Cara ini untuk daerah yang tidak seragam dan variasi CH besar. Menurut
Shaw (1985) cara ini tidak cocok untuk daerah bergunung dengan intensitas CH
tinggi. Dilakukan dengan membagi suatu wilayah (luasnya A) ke dalam beberapa
daerah-daerah membentuk poligon (luas masing-masing daerah ai), seperti pada
Gambar 1.1 :
Gambar 1.1 Daerah-daerah poligon (a1, a2, a3, a4) yang dibatasi oleh
garis putus-putus pada Wilayah A.
Rata-rata CH = (Ri)/n , dimana Ri = besarnya CH pada stasiun i
n = jumlah penakar (stasiun)
a1
a2
a3
a4
A
Penuntun Praktikum Agrohidrologi (oleh Ir. M. Mahbub PS Ilmu Tanah Unlam) I -3
Tabel 1.1. Perhitungan prosentasi luas daerah (a i)pada suatu wilayah A (10.000
ha)
Daerah Luas Daerah aI (ha) Tetapan
Thiessen *
Prosentasi Luas
a1 1.000 0,10 10%
a2 3.000 0,30 30%
a3 1.500 0,15 15%
a4 4.500 0,45 45%
Jumlah A = 10.000 1,00 100%
* tetapan Thiessen = ratio luas a/ luas A
Untuk menghitung Curah Hujan ra ta-rata cara poligon menggunakan persamaan :
Tabel 2.1 Perhitungan Curah Hujan rata -rata cara poligon di suatu Wilayah A
Stasiun di
Daerah
Kedalaman CH
yang terukur (cm)
ratio ai/A Volume CH (cm)
daerah a
a1 6 x 0,10 = 0,60
a2 10 x 0,30 = 3,00
a3 8 x 0,15 = 1,20
a4 11 x 0,45 = 4,95
Curah Hujan rata-rata wilayah A = 9,75
3. Cara Isohet (Isohyetal)
Cara ini dipandang paling baik, tetapi bersifat subyektif dan tergantung
pada keahlian, pengalaman, pengetahuan pemakai terhadap sifat curah hujan
pada daerah setempat.
Isohet adalah garis pada peta yang menunjukkan tempat -tempat dengan
curah hujan yang sama (Gambar 1.2).
Rata-rata CH = R1(a1/A) + R2(a2/A) + R3(a3/A) + . . . + Rn(ai/A)
dimana R = jumlah curah hujan pada penakar/stasiun di daerah a
Penuntun Praktikum Agrohidrologi (oleh Ir. M. Mahbub PS Ilmu Tanah Unlam) I -4
Gambar 1.2. Garis-garis besarnya curah hujan pada masing-masing
Isohet (I).
Dalam metode isohet ini Wilayah dibagi dalam daerah -daerah yang
masing-masing dibatasi oleh dua garis isohet yang berdekatan, misalnya Isohet 1
dan 2 atau (I1 – I2). Oleh karena itu, dalam Gambar 2, curah hujan rata -rata
untuk daerah I1 – I2 adalah (7 cm + 6,5 cm)/2 = 6,75 cm.
Untuk menghitung luas darah ( I1 – I2) dalam suatu peta kita bisa
menggunakan Planimeter. Sercara sederhana bisa juga menggunakan kertas
milimeter block dengan cara menghitung kotak yang masu k dalam batas daerah
yang diukur.
Tabel 1.2. Perhitungan Curah Hujan rata -rata cara Isohet pada wilayah A
Daerah antara
dua Isohet
CH rata-rata antara
dua isohet (cm)
Prosentasi Luas
antara dua Isohet
*)
Volume CH (cm)
I1 – I2 6,75 x 40% = 2,700
I2 – I3 6,00 x 20% = 1,200
I3 – I4 5,00 x 25% = 1,250
I4 – I5 4,25 x 15% = 0,638
Curah Hujan rata-rata wilayah A = 5,788
*) terhadap luas wilayah A
A
I4 (4,5 cm)
I5 (4 cm)
I3 (5,5 cm)
I2(6,5
cm)
I1(7
cm)
Penuntun Praktikum Agrohidrologi (oleh Ir. M. Mahbub PS Ilmu Tanah Unlam) I -5
Metode isohet bergunan terutama berguna untuk mempelajari p engaruh
hujan terhadap perilaku aliran air sungai terutama untuk daerah dengan tipe curah
hujan orografik (daerah pegunungan).
TUGAS PRAKTIKUM :
1. Setiap mahasiswa mengerjakan pertanyaan -pertanyaan di bawah dengan
bantuan komputer dengan program aplikasi Microsoft Excel.
2. Hasil perhitungan di simpan (save) dengan nama file : nama_mahasiswa.xls
pada direktori : c:\Tugas_Hidrologi
Pertanyaan-pertanyaan :
1. Hitung curah hujan dengan metode Rata -rata aritmatik pada Tabel 1.3
Tabel 1.3. Data curah hujan bulanan Lokasi X (mm)
Loka Stasiun Penakar
si 1 2 3 4 5 6 7 8
CH ratarata
A 80 75 89 105 75 95 125 -
B 150 160 200 - 100 - 140 120
C 158 187 250 264 300 230 178 190
2. Hitung curah hujan rata-rata dengan Teknik poligon (Thiessen polygon) pada
Tabel 1.4
Tabel 1.4. Data CH tahunan suatu wilayah A
Daerah Luas Daerah aI (ha) CH (mm)
a1 25000 1500
a2 45000 2500
a3 15000 800
a4 75000 1250
Jumlah
Penuntun Praktikum Agrohidrologi (oleh Ir. M. Mahbub PS Ilmu Tanah Unlam) I -6
3. Hitung curah hujan dengan Teknik Isohet (Isohyetal) pada Tabel 1.5
Tabel 1.5. Data CH bulanan sua tu wilayah A
Daerah antara
dua Isohet
Luas antara dua
Isohet (km2)
CH isohet (mm) Volume CH
I1 – I2 1200 250
I2 – I3 2000 125
I3 – I4 500 200
I4 – I5 4500 175
I6 – I7 100 225
Curah Hujan rata-rata wilayah A =

tekstur tanah


TEKSTUR TANAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah adalah bagian kerak bumi yang tersusun dari mineral dan bahan organik. Tanah sangat penting peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernafas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak. Ilmu yang mempelajari berbagai aspek mengenai tanah dikenal sebagai ilmu tanah. Komposisi tanah berbeda-beda pada satu lokasi dengan lokasi yang lain. Air dan udara merupakan bagian dari tanah. Oleh karena itu sangatlah penting untuk mempelajari ilmu tanah dan cara untuk melestarikannya.
1.2 Tujuan
1.      Untuk mengetahui karakteristik tanah
2.      Untuk mengetahui sifat – sifat tanah
3.      Untuk mengetahui perbedaan tanah liat, debu dan pasir
4.      Untuk mengetahui bahan penyusun tanah
1.3 Manfaat
1.      Dapat mengetahui karakteristik tanah
2.      Dapat mengetahui berbagai sifat-sifat tanah
3.      Dapat mengetahui perbedaan tanah liat, debu dan pasir
4.      Dapat mengetahui bahan penyusun tanah
BAB II
METODOLOGI
2.1       Alat dan Bahan
Alat Di Lapangan
§         Ring
§         Cethok
§         Kayu
§         Palu
§         Plastik
§         Karet
Bahan Di Lapangan
§         Tanah
Alat Di Laboratorium
§         Pring plastik
§         Segitiga tektur
§         Botol
Bahan Di Laboratorium
§         Tanah
§         Air
2.2 Alur Kerja (Diagram Alir)
Alur Kerja Di Lapangan
.Mencari tempat untuk diambil sample tanahnya
.Tanah pertama diambil dengan cetakan ring
.Tanah disekitar cetakan ring digali melingkar
.Tanah dalam cetakan diambil dan dimasukkan plastik
.Mengambil sample tanah 2 macam dengan serok (gumpalan tanah dan pasir)
.Memasukkan sample ke plastik
Alur Kerja Di Laboratorium
.Mengambil sample tanah
.Membasahi tanah dengan sedikit air
.Merasakan tanah dengan tangan (by feeling)
.Menghitung kadar dengan segitiga tekstur
.Mencatat hasilnya


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1    Analisis Tekstur
·         Sifat kimia, fisika dan mineralogi partikel tanah tergantung pada ukuran partikelnya.
·         Semakin kecil ukuran partikel maka luas permukaannya semakin besar. Jadi, luas permukaan fraksi liat > fraksi debu > fraksi pasir
·         Partikel-partikel tanah (tekstur tanah) yang dikelompokkan berdasarkan atas ukuran tertentu disebut fraksi (partikel) tanah, fraksi ini dapat menjadi kasar ataupun halus. Menurut system MOHR fraksi tanah pasir mempunyai ukuran 2.00-0.05 mm, debu 0.05-0.005 mm, dan liat 0.005 mm (Kartasapoetra, 1987).
3.2    Macam – Macam Tekstur Tanah
Ø      Pasir:
Pasir adalah bahan butiran alami terdiri dari batuan halus yang terpisah dan partikel mineral. Komposisi pasir ini sangat bervariasi, tergantung pada sumber-sumber batuan lokal dan kondispartikel pasir berdiameter berkisar dari 0.0625mm (atau 1 / 16 mm, atau 62,5 mikrometer) untuk 2 milimeter.
Ø      Debu:
Debu adalah nama umum untuk partikel padat dengan diameter antara 0,02 – 0,002mm.
Ø      Liat:
Bahan alami terutama terdiri dari mineral halus. Penyusunnya sebagian besar terdiri dari mineral tanah liat, suatu subtipe mineral phyllosilicate, yang membuat elastis dan mengeras bila dipanaskan atau kering
(Anonymous , 2010)
3.3    Perbedaan Tekstur Utama (Pasir, Debu, Liat) Dari Kemampuan Fisik, Kimia & Biologinya.
Ø      Sifat Fisika
Sifat fisika tanah adalah sifat yang data dilihat secara fisik antara lain stuktur tanah, konsistensi, warna, aerasi dan drainasi, permibilitas dan penetrometer.
Tektur tanah merupakan perbandingan relatif tiga fraksi – fraksi tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan antara farksi liat, debu dan pasir. Pengamatan tekstur tanah dengan mengunakan indera perasa yaitu dengan membasahi sedikit kemudian tanah dibentuk bola dengan dikepal – kepal jika tidak dapat berarti termasuk golongan pasir. Tekstur pasir kasar dan massanya berat disbanding yang lain. Tekstur debu licin dan massanya paling ringan. Tekstur liat lebih lengket dan massanya sedang.
Ø      Sifat Kimia
Hal-hal yang perlu diamati dalam analisis kimia tanah adalah pH tanah, kandungan BO, kadar kapur (CaCO3) dan konkresi Mn.
pH tanah digunakan untuk mengetahui aktvitas organisme, ketersediaan hara, keracunan dan jenis tanaman yang dapat tumbuh pada kondisi tanah tersebut. Penentuan pH tanah dapat dilakukan secara elektronik dan kalorimetrik, baik laboratorium maupun lapangan. Elektrometrik reaksi tanah ditentukan antara lain dengan pH meter, sedangkan kalorimetrik dapat dikerjakan dengan kertas pH. Sedangkan pada praktikum ini pH tanah ditentukan dengan pH stick. PH aktual dianalisis dengan cara mencampurkan tanah dengan air (H2O), sedangkan pH potensial diukur dengan cara mencampurkan tanah dengan KCl.
(Tan,1991)
Ø      Sifat Biologi
Tanah bertekstur halus ini didominhasi oleh tanah liat dengan tekstur yang lembut dan licin yang memiliki permukaan yang lebih halus dibandingkan dengan tanah bertekstur kasar yang biasanya berbentuk pasir. Sehingga tanah-tanah yang bertekstur halus memiliki kapasitas dalam proses penyerapan unsur-unsur hara yang lebih besar dibandingkan dengan tanah yang bertekstur kasar. Namun, pada tanah bertekstur lembut ini umumnya lebih subur dibandingkan dengan tanah bertekstur kasar. Karena banyak mengandung unsure hara dan bahan organic yang dibutuhkan oleh tanaman serta mudah dalam menyerap unsur hara.
Sedangkan pada tanah bertekstur kasar lebih porus dan laju infiiltrasinya lebih cepat. Walaupun demikian tanah bertekstur halus memiliki kapasitas memegang air yang lebih besar daripada tanah pasir karena memiliki permukaan yang lebih banyak yang berfungsi dalam retensi air (water retension). Tanah-tanah bertekstur kasar memiliki makro porus yang lebih banyak, yang berfungsi dalam pergerakkan udara dan air.
Sampel tanah yang berasal dari depan pendopo memiliki tekstur liat pada kedalaman 20 cm, dengan rasa dan sifat tanah membentuk bola baik serta melekat sekali. Tanah terasa halus,lekat dan licin. Kondisi tanah yang diambil samplenya ditumbuhi rumput yang tumbuh cukup subur, hal ini membuktikan bahwa tanah tersebut bertekstur halus dan memiliki kapasitas absorbsi unsure-unsur hara yang besar.
3.4 Gambar Segitiga Tekstur
3.5    Faktor yang Mempengaruhi & Dipengaruhi Tekstur
Faktor yang mempengaruhi :
Ø      Bahan induk :
mencakup: lapuk batuan dasar primer; bahan sekunder diangkut dari lokasi lain, misalnya colluvium dan aluvium; deposito yang sudah ada tapi campuran atau diubah dengan cara lain
Ø      Iklim:
pembentukan tanah sangat tergantung pada iklim, dan tanah dari zona iklim yang berbeda menunjukkan karakteristik yang khas. Suhu dan kelembaban mempengaruhi pelapukan dan pencucian. Angin bergerak pasir dan partikel lainnya, terutama di daerah kering di mana ada sedikit tanaman penutup. Jenis dan jumlah curah hujan mempengaruhi pembentukan tanah dengan mempengaruhi gerakan ion dan partikel melalui tanah, membantu dalam pengembangan profil tanah yang berbeda. suhu fluktuasi musiman dan harian mempengaruhi efektivitas air dalam bahan pelapukan batuan induk dan mempengaruhi dinamika tanah. Siklus pembekuan dan pencairan merupakan mekanisme efektif untuk memecah batu dan bahan konsolidasi lainnya. Suhu dan tingkat curah hujan mempengaruhi aktivitas biologis, tingkat reaksi kimia dan jenis vegetasi penutup
Ø      Topografi / Relief:
Topografi alam dapat mempercepat atau memperlambat kegiatan iklim. Pada tanah datar kecepatan pengaliran air lebih kecil daripada tanah yang berombak. Topografi miring mepergiat berbagai proses erosi air, sehingga membatasi kedalaman solum tanah. Sebaliknya genangan air didataran, dalam waktu lama atau sepanjang tahun, pengaruh ilklim nibsi tidak begitu nampak dalam perkembangan tanah.
Ø      Organisme:
Tanaman, hewan, jamur, bakteri dan manusia mempengaruhi pembentukan tanah. Hewan dan mikro-organisme tanah campuran untuk membentuk lubang dan pori-pori yang memungkinkan kelembaban dan gas meresap ke lapisan lebih dalam. Dengan cara yang sama, membuka saluran akar tanaman dalam tanah
Ø      Waktu:
Waktu adalah faktor dalam interaksi semua faktor di atas ketika mengembangkan tanah. Seiring waktu, tanah berevolusi fitur tergantung pada faktor-faktor pembentukan lain, dan pembentukan tanah adalah proses waktu-responsif tergantung pada bagaimana interaksi faktor-faktor lain dengan satu sama lain. Tanah selalu berubah.
(Anonymous b, 2010)
Dari  kelima  faktor  tersebut yang bebas  pengaruhnya adalah iklim. Oleh karena itu pembentukan tanah kering dinamakan dengan istilah asing weathering. Secara garis  besar  proses  pembentukan  tanah  dibagi  dalam  dua  tahap,  yaitu proses  pelapukan dan proses perkembangan tanah .
(Darmawijaya, 1990 )
Proses  pelapukan  adalah  berubahnya  bahan  penyusun  didalam  tanah dari  bahan  penyusun  batuan.   Sedangkan  proses  perkembangan  tanah  adalah terbentuknya  lapisan  tanah  yang  menjadi ciri, sifat, dan kemampuan yang khas dari  masing – masing  jenis tanah. Contoh  proses pelapukan adalah  hancurnya batuan  secara fisik,  sedangkan  contoh  untuk  peristiwa  perkembangan  tanah adalah terbentuknya horison tanah, latosolisasi
(Darmawijaya, 1990 )
Faktor yang Dipengaruhi
Ø      Struktur
Ø      Konsistensi
Ø      Perakaran
Ø      Daya serap air
3.6    Hubungan Tekstur Dengan Sifat Fisik Tanah Lainnya
Tekstur tanah menunjukkan kasar atau halusnya suatu tanah. Teristimewa tekstur merupakan perbandingan relatif pasir, debu dan liat atau kelompok partikel dengan ukuran lebih kecil dari kerikil. Tekstur tanah sering berhubungan dengan permeabilitas, daya tahan memegang air, aerase dan kapasitas tukar kation serta kesuburan tanah. Walaupun faktor-faktor lainnya dapat mengubah hubungan tersebut.
Dalam klasifikasi tanah (taksonomi tanah) tingkat famili, kasar halusnya tanah ditunjukkan dalam sebaran besar butir (particle size distribution) yang merupakan penyederhanaan dari kelas tekstur tanah dengan memperhatikan pula fraksi tanah yang lebih besar / kasar dari pasir.
(Darmawijaya, 1990)
3.7      Kajian Mengenai Pengaruh Tekstur Dalam Usaha Pertanian
Dalam memilih lahan untuk pertanian diperhatikan masalah tekstur tanah karena mempengaruhi kandungan bahan organik atau unsur hara yang diperlukan untuk tumbuhan serta kemampuannya menyimpan air dan aerasi. Pengolahannya tergantung dari beberapa hal antara lain, kondisi tanah / relief dan hidrologi tanah asalnya. Bila relief tanah asal berombak / berlereng, maka harus dibuat teras bangku. Cara pembuatan teras adalah dengan jalan menggali lereng atas dan menimbun lereng bawah.. Bila dengan hidrologi dilakukan dengan membuat saluran drainase agar lahan menjadi kering / tidak terus – menerus tergenang. Karena itu sifat tanah akan berubah karena terjadi proses pengeringan tanah mulai dari lapisan atas kebawah.
Pada profil tanah berpasir yang ditanami padi 3 kali setahun dijumpai lapisan tapak bajak. Jika ditanami padi 1 atau 2 kali setahun, lapisan tapak bajak menjadi lapisan padas besi ( Rayes, 2000)
3.8    Data Hasil Praktikum

Sample A
Sample B
Sample C
Sample D
PASIR
80 %
30 %
10 %
20 %
DEBU
10 %
40 %
20 %
20 %
LIAT
10 %
30 %
70 %
60 %
golongan
Loamy sand
Clay loam
Clay
Clay
BAB IV
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelas tekstur tanah adalah kemampuan tanah memegang dan menyimpan air, aerasi, serta permeabilitas, kapasitas tukar kation dan kesuburan tanah.Sedangkan factor yang mempengaruhi tekstur adalah bahan induk, iklim, topografi / relief, organisme, dan waktu. Faktor yang dipengaruhi tekstur adalah struktur, konsistensi, perakaran, dan daya serap air. Macam tekstur tanah yaitu debu, pasir dan liat.
SARAN
ADA DEH  !
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2010. soil. http://en.wikipedia.org/wiki/ diakses tanggal 2
Oktober 2010
Darmawijaya, M. Isa. 1990. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Kartasapoetra. 1987. Ilmu Tanah Umum. Bagian Ilmu Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Padjajaran. Bandung.
Rayes, M.L. 2000. Karakteristik, Genesis Dan Klasifikasi Tanah Sawah Dari Bahan Volkan
Merapi. Disertasi Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor
Tan, Kim. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Balai Penelitian Teh & Kina. Bandung.